Cari Blog Ini

0 PEMAKAIAN ANTIBIOTIK DILARANG DALAM BUDIDAYA IKAN & UDANG

Jumat, 13 Desember 2013

PEMAKAIAN ANTIBIOTIK DILARANG DALAM BUDIDAYA IKAN & UDANG


Sebanyak 5 kontainer produk udang asal Indonesia yang diekspor ditolak masuk karena diketahui mengandung residu antibiotik Chloramphenicol. Penggunaan antibiotik banyak dilakukan dalam budidaya akuakultur sebagai akibat dari sistem pemeliharaan yang intensif. Antibiotik biasa digunakan dalam pemberian terpisah atau lewat pakan dengan tujuan sebagai antisipasi pencegahan penyakit, membunuh mikroorganisma dalam pakan sehingga pakan menjadi lebih awet, memperbaiki sistem pencernaan hewan untuk menjadi lebih efisien, serta meningkatkan nafsu makan ikan & udang. 
Chloramphenicol biasa digunakan untuk menanggulangi infeksi bakteri anerobik, aeromonas, Pseudomonas, Mycoplasma, dan Enteroacteriaceae. 
Chloramphenicol telah sejak lama digunakan dalam industri peternakan dan kedokteran, residunya menyebabkan kematian pada penderita anemia yang bisa berlanjut ke leukemia. Antibiotik ini juga diduga sebagai penyebab timbulnya Gray Baby Sindrome yaitu gejala bayi berkulit warnaabu-abu, perut kembung, suhu tubuh rendah, susah bernapas, demam, yang bisa menyebabkan kematian. 
Mempertimbangkan bahaya tersebut sudah sejak 1985 USDA CES (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) menetapkan chcloramphenicol sebagai obat keras, yang karenanya
tidak diperbolehkan digunakan dalam budidaya ternak dan ikan. Pemerintah Indonesia
telah memperketat pelarangan tersebut dengan Ketetapan Pemerintah yaitu keputusan Menteri Pertanian No 806/KIts/TN.206/12/94 yang menyatakan chloramphenicol termasuk dalam daftar obat keras yang sama sekali tidak diizinkan digunakan untuk hewan.

Penggunaan semua jenis antibiotik dalam industri budidaya perikanan tidak dianjurkan.
Departemen Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan 11 jenis antibiotik yang dilarang 
digunakan dalam praktek budidaya perikanan (secara langsung maupun lewat pakan),
yaitu nitrofuran, furazolidone, ronidozol, dapson, chloramphenicol, cholchicin, chlorpromazin,
chloroform, dimeltidazol, metronidazol, dan aristolochia. Kasus terbaru adalah kontaminasi
nitrofuran yang juga dialami oleh udang yang diekspor dari beberapa negara seperti 
Thailand, Vietnam, Bangladesh, India termasuk Indonesia ke negara-negara Uni Eropa.

Dalam upaya memperbaiki mutu produk ekspor dan sesuai dengan tuntutan yang diminta
oleh negara-negara importir, FAO menganjurkan beberapa metoda budidaya antara lain :
1. Menerapkan Good Culture Practice (GCP),
2. Mengembangkan penerapan strategi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu Analisis Potensi Bahaya, Titik-titik Pengendalian
Kritis, Batas-batas Kritis, Prosedur Pemantauan, Tindakan Koreksi, Pencatatan dan
Prosedur Verifikasi. Sistem HACCP didisain untuk meminimalkan resiko dan tidak
dapat digunakan untuk meniadakan semua resiko akibat kemungkinan terjadinya
bahaya ketidakamanan makanan. Meskipun demikian sistem HACCP diharapkan
mampu meningkatkan mutu produk dan menetralisir ganjalan dari negara-negara
konsumen.


Read more